indahnya kota Noiva do
Cordeiro memang tak dapat dipungkiri lagi. Bukit-bukit yang terhampar dengan
cantiknya, pepohonan yang tinggi serta desiran angin yang sejuk membuat
masyarakat tak ingin pergi dari kota yang satu ini. Secara kasatmata, kota ini
memang terlihat seperti kota biasa.
Namun siapa yang menyangka bahwa kota
cantik ini ternyata hanya dihuni oleh wanita saja. Noiva do Cordeiro dihuni
oleh kurang lebih 600 orang wanita yang berusia antara 20 hingga 35 tahun. Para
pria tentu saja ingin mengunjungi kota ini. Namun tak semudah itu, peraturan
ketat pun mereka buat agar para pria tak dapat dengan mudahnya dapat berkunjung
ke kota ini.
Sebenarnya, beberapa di
antara mereka sudah berkeluarga. Mereka datang ke kota ini hanya untuk bekerja
sementara para suami dapat melepaskan rasa kangen hanya di akhir pekan saja.
"Kota ini sangat terorganisir sangat baik.
Para wanita mampu bekerja
dengan sangat baik sehingga kota kami selalu terlihat sejuk dan aman walaupun
Anda harus berjalan di malam hari. Dapat dikatakan, para wanita jauh lebih
bertanggung jawab dibandingkan kaum pria," ujar Rosalee Fernandes (49)
salah seorang penduduk di Noiva do Cordeiro.
Para wanita pun saling bahu
membahu satu sama lain. Jika terjadi perselisihan, mereka dapat mengatasinya
dengan baik. Hidup dengan rukun sangat terlihat dari masyarakat Noiva do
Cordeiro.
Kota unik ini mulai
didirikan pada akhir abad 19 oleh seorang wanita bernama Maria Senhorinha de
Lima. Saat itu, Maria dipaksa menikah oleh orangtuanya dengan seorang pria. Karena
dikucilkan akibat dicap sebagai penzina, akhirnya pada tahun 1891 ia pergi ke
suatu daerah. Kota yang akhirnya ia beri nama Noiva do Cordeiro ini menjadi
tempat tinggal Maria bersama dengan para wanita lajang yang ia rangkul untuk
hidup bersamanya.
Suatu ketika, ada seorang pria yang menikah dengan salah satu
masyarakat Noiva do Cordeiro. Pria tersebut selalu mengatur apa yang harus
dilakukan oleh istrinya. Ketika pria itu meninggal, para perempuan di Noiva do
Cordeiro memutuskan bahwa mereka tak lagi harus menuruti semua perintah dari
pria karena mereka dapat hidup dan membangun kota tanpa bantuan pria.
Seperti yang kita ketahui,
yang namanya tempat pemukiman penduduk, pastilah dihuni oleh penduduk dengan
berbagai usia dan jenis kelamin. Tapi tidak dengan desa kecil yang terletak di
padang rumput Samburu, utara Kenya ini. Penduduk di desa ini semuanya wanita.
Bahkan pria dilarang memasuki desa kecil ini.
Komunitas yang diberi nama Umoja
ini dibuat oleh 15 wanita pada tahun 1990. 15 wanita ini adalah orang-orang
yang dulunya pernah diperkosa oleh tentara Inggris. Desa spesial ini menawarkan
perlindungan dan harapan untuk wanita yang telah mengalami penganiayaan.
Di
tempat inilah para wanita mencari perlindungan dari kekerasan yang mereka alami
seperti perkosaan, pernikahan yang dipaksakan, female genital mutilation atau
mutilasi alat kelamin wanita, serta kekerasan rumah tangga.
Seita Lengima, salah satu
penduduk tertua di Umoja mengatakan bahwa di luar komunitas tersebut, wanita
dikekang dan diatur oleh pria sehingga nasib para wanita tersebut tidak bisa
berubah. Di Umoja, wanita punya kebebasan mereka.
Rebecca Lolosoli, salah satu
pendiri Umoja ini pernah sampai dirawat di rumah sakit setelah dianiaya oleh
sekelompok pria saat ia mengungkapkan ide untuk membuat komunitas wanita. Para
pria memukulinya untuk memberikan pelajaran karena berani bicara pada wanita
lain di desanya tentang hak mereka.
Meski begitu sahabat, jangan dikira para wanita yang berlindung di Umoja hanya
sekedar wanita yang mencari kebebasan. Bukan. Di sini mereka punya cerita masa
lalu menyakitkan yang sayangnya tidak didengar oleh para pria di tempat tinggal
mereka dulu.
Salah satu contohnya adalah Mamusi, penyambut tamu desa Umoja. Ia
mengatakan bahwa dirinya ditukar dengan beberapa ekor sapi oleh ayahnya saat
masih berusia 11 tahun untuk dijadikan istri bagi seorang pria berusia 57
tahun.
Salah seorang wanita lainnya, Jane yang berusia 38 tahun diperkosa oleh
3 orang pria. Saat itu ia sedang menggembala kambing dan domba milik suaminya
sambil membawa kayu bakar. Tiba-tiba ia diserang oleh tiga orang pria yang
kemudian memperkosanya.
Karena merasa malu dan terluka, ia tidak berani berkata
apa-apa. Namun saat suaminya mengetahui apa yang terjadi, Jane justru dipukuli
dengan tongkat oleh suaminya. Akhirnya ia membawa anaknya dan pergi dari desa
asalnya menuju Umoja.
Kabar tentang desa ini lama
kelamaan semakin menyebar. Seita mengingat bagaimana ia mendengar kabar tentang
Umoja dari gosip yang beredar di desanya. Ketika ia tiba di Umoja, ternyata
situasi lebih baik dari yang diharapkannya. Ia diberi seekor kambing, diberi
air, dan mulai merasa aman di sana. Saat ini, ada 47 wanita dan 200 anak-anak
yang tinggal di Umoja.
Para wanita mendapatkan penghasilan dengan menyediakan
kemah bagi turis serta menjual perhiasan tradisional. Desa tersebut juga
memasang tarif yang kecil untuk turis yang ingin mengunjungi desa mereka.
Dengan penghasilan tersebut, para wanita di Umoja mampu bertahan untuk beutuhan
sehari-hari mereka.
Tidak hanya itu saja, para
wanita di sini juga belajar banyak hal yang biasanya dilarang dilakukan seperti
bekerja dan menghasilkan uang sendiri. Di Umoja, mereka bisa mendapatkan
penghasilan mereka sendiri dan saat turis membeli perhiasan yang mereka buat,
para wanita tersebut merasa sangat bangga.
Hingga saat ini, usaha mendapatkan
keadilan terutama bagi mereka yang diperkosa oleh tentara asing tidak
membuahkan hasil. Namun bagi para wanita Umoja, hal yang terpenting bagi mereka
adalah memiliki tempat aman yang bisa mereka sebut rumah.
Desa kecil di pinggir Kota
Sakakah, Provinsi al-Jawf, barat daya Arab Saudi memang unik karena seluruh
penduduknya perempuan. Hanya saja, jangan bayangkan di pemukiman ini perempuan
bebas sesuka hati melakukan apa yang mereka mau. Baru-baru ini, pengurus desa
itu malah mengeluarkan larangan agar gadis-gadis tidak berpenampilan tomboi.
Desa ini memang kebanjiran perempuan dari kota lain di Saudi karena keunikannya
yang cuma berisi kaum hawa. Namun, penduduk asli mengaku tidak suka dengan para
pendatang membawa budaya asing seperti pakaian yang memperlihatkan aurat serta
musik-musik bising..
Berkebalikan dari bayangan
para feminis, pemukiman itu bukan tempat wanita mencari suaka di Saudi. Alasan
penghuninya cuma kaum hawa, karena ada pemisahan tegas antara hunian laki-laki
dan perempuan di wilayah al-Jawf yang sangat puritan dalam beragama.
Pengurus
desa mengeluarkan ancaman bakal mengusir perempuan di desa itu yang tidak
bersikap baik. Sasaran awal mereka adalah gadis berpenampilan seperti lelaki
atau tomboi, serta yang memakai pakaian seronok. "Fenomena pendatang itu
tidak mencerminkan budaya asli di desa ini. Sehingga perlu bagi kita buat
membasminya," seperti tertulis di selebaran pengurus desa.
Ke depan, aturan di desa itu
bakal semakin tegas. Pengunjung dari luar daerah tidak boleh membawa kamera
atau telepon seluler. Bukan hanya gadis tomboi yang dianggap melawan tradisi.
Perempuan dengan dandanan 'punk' juga bakal diharamkan. Bahkan, dewan adat
lokal di Sakakah bersiap melarang kaum hawa yang nyeleneh itu memasuki sekolah
umum atau universitas.
Sumber : anehdidunia
0 Response to "Desa Tanpa Laki Laki Hanya Khusus Wanita"
Posting Komentar